Menu

Mode Gelap
Dewan Minta Kontraktor Jaga Kualitas Proyek Pembangunan Jembatan Bliko di Flotim Gubernur Melky Tutup Program Bangun Karya 44 UMKM dari 44 Desa Meriahkan Launching OVOP 10 Catatan Kritis Fraksi Persatuan Hanura Terhadap RPJMD NTT  Mencermati Sengketa Tanah Suku di Ketemukungan Oenutnanan Oeana SoE dan Penetapan Kawasan Hutan Laob Tumbesi Pemprov NTT Diminta Perbaiki Ruas Jalan Provinsi dan Bangun SMA di Luaholu Rote Ndao 

Opini

Mencermati Sengketa Tanah Suku di Ketemukungan Oenutnanan Oeana SoE dan Penetapan Kawasan Hutan Laob Tumbesi

badge-check


					Pina Ope Nope Perbesar

Pina Ope Nope

Kupang – Sebagai pendahuluan, saya menyentil sebuah artikel kebangsaan berjudul Politik Kebangsaan dan Keadilan Sosial yang ditulis oleh Romo Posenti Sindhunata yang biasanya mengambil nama pena – Sindhunata. Ia memberikan pandangannya tentang Negara Bangsa serta memberi contoh yaitu suatu Bangsa bisa saja meliputi beberapa Negara misal : Jerman dan Italia sampai pertengahan abad-19. Sebaliknya suatu Negara bisa juga mencangkup beberapa bangsa, seperti Prusia di Jerman dan Cekoslowakia di abad ke-20 hingga keterpecahannya baru-baru ini.

Merujuk pada pemikiran Sindhunata, maka Negara Bangsa Indonesia dalam kerangka Republik Kesatuan (NKRI) yang terbentuk tahun 1950, itu sesungguhnya merupakan hasil peleburan berbagai bangsa melalui pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS 1949) oleh Ir. Soekarno, maka ia dan Muhammad Yamin telah mereduksi keberagaman ini menjadi satu identitas yaitu bangsa Indonesia. Suatu penyederhanaan yang oleh sebagian orang dianggap anakronistik.

Senada dengan itu, Sindhnata mengutip buah pikiran Samuel P. Huntington, seorang Profesor pada Harvard University sekaligus penulis buku terkenal The Clash of Civilizations and Remaking of the World Order. Ia menyampaikan bahwa sesungguhnya, bangsa-bangsa dan negara-negara itu berbeda secara mendasar. Bangsa-bangsa adalah masyarakat etnis atau budaya, sumber jati diri untuk masyarakat, sedangkan Negara adalah institusi Politik, sumber kekuasaan. Menyatukan keduanya menjadi satu identitas tunggal, merupakan tantangan terbesar yang seringkali [apabila dikelola secara keliru] gagal tercapai dalam sejarah umat manusia.

Lebih jauh lagi, Huntington di dalam artikelnya berjudul: Benturan Peradaban menyebutkan bahwa bangsa merupakan sumber-sumber identitas yang membentuk peradaban dan kemudian merefleksikan peradaban itu melalui unsur-unsur seperti : bahasa, sejarah, agama, kebiasaan [hukum adat], institusi [kelembagaan/ kerajaan], maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.

Bangsa Atoni, termasuk di dalamnya Amanuban, sebenanrya telah sejak lama memiliki semua unsur disebut bahkan jauh sebelum terjadinya kolonialisme. Pdt. Francisco de Kristo A. Jacob dalam risetnya yang mendalam, menyebutkan bahwa Sebelum kehadiran VOC, pulau Timor itu sendiri telah terbagi oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak hampir serupa dengan sistim monarki konstitusional yang terdiri dari Raja (Usif) dan wakilnya (Uis Bala/ Uis Pala).

Oleh sebab itu, eksistensi kebiasaan [hukum adat], institusi [kelembagaan/ kerajaan] telah memiliki legitimasi hukum yang kuat. Oleh karenanya, sangat disayangkan sekali bahwa dalam proyek besar negara bangsa Indonesia, identitas budaya, kebiasaan dan institusi bangsa Atoni justru terpinggirkan.

Dalam artikel kebangsaan lainnya yang berjudul Kondisi Sosial yang dibayangi Disintegrasi Tanpa Ujung, Irwan Abdulah menulis bahwa Disintegrasi Sosial akan berperan penting dalam proses hilangnya rasa memiliki terhadap sebuah Negara Bangsa. Begitu juga akan berkontribusi terhadap hilangnya ikatan atau solidaritas komunal (dalam konsep Negara Bangsa) yang akan mengikis ketaatan pada sistem sosial dan norma yang berlaku. Kita dapat melihat, bahkan sedang terjadi bahwa proses Disintegrasi Sosial berbarengan dengan Disintegrasi Moral, Etika dan Hukum di dalam pola tata negara dan bangsa kita.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa institusi politik sebagai pemegang otoritas negara kini tampak rapuh, dan semakin dilumpuhkan oleh aksi mafia hukum dan korupsi. Sindhunata dengan lantang mengatakan, Jika bangsa-bangsa mencari jati dirinya, sementara negara yang menghimpun mereka tidak mampu menjawabnya, maka negara kebangsaan akan segera kolaps. Huntington bahkan menyebut bahwa institusi negara bangsa saat ini tengah berada dalam kondisi sekarat.

Hukum Kolonial dan Hukum Adat

Dalam kaca mata historis, bahwa sebelum bangsa-bangsa di Nusantara direduksi menjadi satu identitas Bangsa Indonesia, masyarakat Adat seperti Amanuban sendiri telah memiliki sistem hukum adat yang mapan. Sayangnya, hukum modern Indonesia gagal mengakomodasinya secara nyata. Bahkan, hukum positif lebih cenderung dijadikan sebagai alat pemulus kejahatan oleh oknum-oknum tertentu daripada sebagai pelindung keadilan.

Soekarno sendiri sadar, bahwa bangsa-bangsa di Indonesia memiliki hukum adatnya masing-masing. Karena itu, dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Pasal 5, hukum adat diakui secara normatif. Namun pengakuan ini hanya bersifat deklaratif dan tidak pernah diwujudkan secara konkrit.

Bahkan, meskipun Pasal 18B UUD 1945 yang merupakan hasil dari amandemen pada tahun 2000 tentang adanya pengakuan Negara terhadap Masyarakat Adat, namun sebenarnya hingga kini belum ada satu pun undang-undang turunan yang ditetapkan dan diterapkan secara efektif di dunia pemerintahan dan peradilan. Ini akan nyata dalam putusan-putusan yang mengabaikan bagian ini.

Berbanding terbalik dengan pemerintahan Indonesia yang penuh retorika, pemerintah kolonial Hindia Belanda justru lebih serius mendalami eksistensi hukum adat. Meski awalnya dipenuhi perdebatan sengit, namun akhirnya mereka sepakat, bahwa untuk mengatur masyarakat harus sejalan dengan upaya menghargai sistem hukum lokal dan unsur-unsur subjektif yang melekat di dalamnya.

Harus diakui, bahwa perhatian orang Eropa terhadap hukum adat sangat banyak, misalnya oleh Mr. H.G Baron Nahuijs van Burgst yang di tahun 1825 menulis Breiven over Bencoolen, Padang, het rijk van Menangkabau, Rhious, Singapura en Poelo Pinang (Sketsa singkat tentang Bengkulu, Padang, kerajaan Minangkabau, Riau, Singapura dan Pulau Pinang).

Disana ia menerangkan bahwa orang Minang mewariskan harta kepada kemenakan dan beberapa kelompok pribumi menyebut nama marganya sendiri. Di Padang, peradilan Hakimnya memutuskan berdasarkan Al-Quran.

Selain Burgst ada juga J.W Winter yang menerjemahkan Undang-Undang Raja pada tahun 1818. Selain itu ada juga C.F Winter yang sangat mahir bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa. Ia menulis Instellingen, Gewoonten en Gebruiken (Kelembagaan, kebiasaan dan pemakaian) yang kemudian digunakan dalam peradilan kerajaan Surakarta.

Selain Winter ada juga dr. D.L Mounier, Van Schimd (menerbitkan karangan tentang adat istiadat Ambon dan Seram). T.J Willer – seorang pegawai pemerintah Belanda di Batak, Ternate, Maluku, Ambon, Kalimantan Barat dan Riau juga menerbitkan Verzameling de Battahsce Wetten en instellingen in Mandheling en Pertibe dan ia menulis lebih banyak lagi dokumen-dokumen serupa.

Bahkan J.F.K.S van den Bossche pada tahun 1852-1854 membukukan sebuah kitab hukum adat yang disebut Oendang-oendang Simboer Tjahaya. Selain mereka, masih banyak lagi penulis-penulis asing yang melakukan pembukuan hukum-hukum adat pribumi.

Guna tercapainya kepastian hukum bagi semua orang, maka pada tahun 1847 raja Belanda menunjuk panitia yang diketuai oleh Mr. C.J Scholten van Oud Haarlem untuk membuat rencana peraturan perundangan yaitu : Ketentuan-ketentuan umum tentang perundangan Nederland Indie (AB), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW/ KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wvk/ KUHD) dan Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Justite (RO). Perubahan RO dilakukan setahun kemudian yang memuat aturan tentang Hukum Perdata hanya berlaku bagi golongan Eropa.

Sedangkan hukum pidana, pada awalnya itu berbeda-beda antara golongan Eropa dan golongan pribumi dan timur asing yang berlaku sejak tahun 1866. Pada tahun 1915 dibuatkan kodifikasi hukum pidana yang bersifat unifikasi, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan rakyat di Indonesia. Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUH Pidana yang sampai sekarang masih berlaku, tidak lain merupakan tiruan dari KUH Pidana Belanda tahun 1881.

Sebaliknya mengenai hukum perdata, masih dibedakan antara golongan rakyat karena RO tahun 1848 tidak termasuk hukum adat. Semenjak kodifikasi ini memang telah timbul perbedaan karena Mr. Wichers menginginkan agar sebagian hukum perdata berlaku juga bagi untuk golongan yang bukan Eropa. Namun sebaliknya Gubernur Jenderal Rochussen menghendaki agar rakyat yang bukan golongan Eropa harus berlaku hukum adat sepenuhnya.

Di masa itu, istilah hukum adat (Adatrecht) belum dikenal sehingga istilah yang digunakan adalah Undang-undang keagamaan, lembaga rakyat dan kebiasaan. Antara tahun 1870an sampai 1900 muncul berbagai usulan agar golongan pribumi dilakukan kodifikasi hukum adat sehingga pada tahun 1900, Menteri Jajahan Belanda Cremer menugaskan Mr. Carpentier Alting untuk kemungkinan melakukan kodifikasi hukum adat Minahasa yang bersifat lokal dapat digunakan secara merata di seluruh daerah Hindia Belanda.

Namun kemudian hasil kerja Alting Regeling van het Privaatrecht voor de Inlandsche Bevolking in de Minahasa Districten der Residentie Menado (Peraturan hukum perdata pribumi Minahasa di keresidenan Menado) terbit pada 1902 menuai kritik yang tajam dari tokoh-tokoh seperti Mr. I.A Nederburgh dan Mr. F.C Hekmeyer. Bahkan topik ini menjadi perdebatan penting di parlemen Belanda.

Idenburg sebagai pengganti Cremer, bermaksud agar seluruh sistem hukum Eropa diterapkan di seluruh koloni Hindia Belanda, namun pendapat ini ditentang oleh Prof. Van Vollenhoven – guru besar Universitas Leiden. Van Vollenhoven justru menekankan bahwa sangat penting untuk mempertahankan hukum adat sebagai bagian dari identitas masyarakat pribumi. Ia bahkan menulis banyak karya untuk menolak unifikasi hukum berbasis Eropa dan akhirnya mendapat dukungan dari Menteri Fock, penerus Idenburg.

Pada Oktober 1906, parlemen Belanda menolak konsep unifikasi hukum Eropa dan menerima amandemen yang mendukung keberadaan hukum adat. Tulisan-tulisan Van Vollenhoven sendiri memberikan kesan tersendiri di kalangan orang Eropa. Ter Haar adalah murid Van Vollenhoven dan ia menulis Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht yang kemudian diterjemahkan oleh K. Ng Soebakti Peoponoto dengan judul Asas-asas dan Hukum Adat. Pemikiran-pemikiran Ter Haar diakui secara luas, bahkan Profesor Soepomo (1950) dan Profesor Logemann mengatakan Pandangan yang mahir daripada Ter Haar tentang asas dan susunan hukum adat sampai sekarang masih tetap menjadi ukuran.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian secara bertahap melakukan pengembangan hingga tahun 1925, Belanda mulai mengembangkan istilah Indiesche Staatsregeling (IS) untuk menjadikan hukum adat sebagai hukum tertulis yang sah bagi pribumi. Pada tahun 1930, upaya ini diperluas dengan peningkatan riset demi menjajaki kemungkinan kodifikasi hukum adat secara menyeluruh. Kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistematis berbagai hukum adat ke dalam bentuk tertulis yang diakui oleh komunitas adat masing-masing.

Namun, upaya ini terhenti ketika pada tahun 1940 saat Perang Dunia II pecah. Ketika masa kekosongan kekuasaan terjadi pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua, Ir. Soekarno secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Republik Indonesia pada Agustus 1945 sekaligus mendapuk dirinya mengatasnamakan bangsa Indonesia tanpa sebuah konsesus yang luas dari kalangan rakyat Indonesia.

Konsesus yang luas justru terjadi secara de jure oleh identitas-identitas adat melalui sistem pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) serta diakui oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dituangkan dalam akta internasional. Namun RIS justru kemudian dibubarkan secara sepihak oleh Ir. Soekarno 9 bulan setelahnya melalui Keputusan Presiuden. Suatu tindakan yang illegal menurut hukum Internasional tapi diterima secara baik oleh komunitas Adat di Hindia Belanda sebagai bentuk rasa persaudaraan bekas jajahan Belanda.

Alasan mengapa saya harus menjelaskan runutan sejarah ini adalah agar ingatan kita disegarkan kembali tentang proses lahirnya peraturan-peraturan perundangan yang sekarang ini bertujuan untuk menjamin rasa keadilan justru terkepung oleh mafia-mafia. Perubahan modernisasi dalam Negara Bangsa kita Indonesia secara cepat justru telah sangat jauh melenceng dari asas dasar yang sebenarnya.

Begitu pula, menjadi jelas bagi kita bahwa hukum adat justru lebih dihormati dan diakui oleh pemerintah kolonial dibanding oleh negara modern Indonesia yang sebenarnya lahir dari perjuangan masyarakat adat itu sendiri. Sudah saatnya negara berhenti meminggirkan identitas hukum lokal, menghentikan semua praktik mafia hukum dan mulai membangun sistem hukum yang inklusif, adil, serta selaras dengan realitas sosial budaya masyarakatnya.

Relasi hukum adat dalam kuasi Hukum Positif

Dalam upaya memberikan perlindungan tentang eksistensi Masyarakat Hukum Adat dari upaya peminggiran, manipulasi hukum dan penindasan tersistem oleh oknum terhadap eksistensi masyarakat Adat Amanuban, maka saya berusaha mendampingi masyarakat Adat dalam berbagai persoalan sosial sebagai bentuk tanggung jawab moral di dalam bangsa Amanuban.

Saya sendiri telah melihat dan merasakan bagaimana hukum postitif telah sedikit demi sedikit menghancurkan tatanan sosial masyarakat adat yang diterapkan secara sembrono oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Pada tahun 2011 misalnya, saya mendampingi masyarakat adat Amanuban di Desa Balu Kecamatan Polen terkait kasus pencurian dua ekor sapi.

Pelaku pencurian terungkap dan sesuai dengan keputusan tua adat, pelaku di berikan sanksi adat berupa Nakahakeb Nafani Bia (sebagai ganti rugi) dan Kiu Muke (sebagai denda adat) dan pelaku pencurian sapi menyanggupinya. Naasnya pelaku sempat di tampar oleh keponakannya sendiri, seorang aparat desa yang merasa malu karena perbuatan pamannya itu. Akhirnya, aksi penamparan ini dilaporkan ke Polsek setempat sebagai tindak pidana berikut, aparat Desa dan pemilik sapi diperiksa sebagai pelaku pidana dengan junto pasal 55 KUH Pidana karena pemilik sapi dianggap ikut serta memotivasi pelaku penamparan.

Kini kasus pencurian sapi ini tidak diselesaikan sebaliknya penganiayaan yang di urus, sehingga menguras mental para Terlapor. Ketika peristiwa ini kami sampaikan kepada Kapolres melalui sepucuk surat yang menceritakan kronologisnya, kasus ini akhirnya diperintahkan untuk di hentikan pada tahap pemberkasan. Sayang sekali bahwa akhirnya pencurian sapi akhirnya lolos dari jeratan hukum. Sungguh suatu ironi yang membingungkan.

Bukan hanya itu, pada tahun 2019, saya mendampingi keluarga Abi di Desa Hane-Amanuban Barat, yang merupakan korban pengerusakan hasil kebun oleh sapi milik seorang. Sesuai dengan keputusan hasil musyawarah Adat setempat, maka sapi itu dipotong dan dibagi sebagai bentuk ganti rugi sekaligus denda (Nahakeb nafani mleu dan Kiu muke).

Namun sayangnya, karena pemilik sapi memiliki koneksi yang kuat dengan oknum-oknum penegak hukum, maka pemilik kebun justru di tangkap di bawah todongan senapan dan digelandang ke pos polisi sebagai pelaku pembunuhan sapi secara ilegal. Kini ia harus mengganti kembali sapi yang telah dibunuh itu. Walaupun peristiwa ini telah terlanjur terjadi tanpa penyelesaian yang tepat, saya sempat berdebat dengan Pimpinan Kepolisian di ruangannya dan meminta hukum adat dan kebiasaan orang Amanuban harus dihormati sekecil apapun itu.

Yang paling krusial adalah ulah pejabat-pejabat Pemerintahan Provinsi NTT yang berusaha untuk menguasai secara paksa atas tanah di Hutan Adat Pubabu (sejak tahun 1983 diganti namanya menjadi Besipae) seluas 3.780 Ha. Mengenai persoalan ini, Pemerintah secara terang-terangan mengacaukan tatanan sosial dan Adat, mengadu domba masyarakat Adat lalu di blow-up peristiwa pengusiran secara paksa menggunakan aparat militer dan kepolisian secara besar-besaran melalui media-media milik pemerintah.

Bahkan menyatakan secara terbuka bahwa masyarakat Adat Amanuban yang mempertahankan Hutan Pubabu sebagai Oknum Okupan. Label okupan ini sering dipakai untuk melegitimasi pengusiran paksa, kriminalisasi, atau pembenaran perampasan tanah adat.

Lain dengan itu, di Kota Soe beberapa minggu yang lalu, pada 29 April 2025, saya di minta oleh suku Tauho – keluarga Meo (Keluarga Ksatria/ panglima perang) Amanuban untuk hadir di wilayah ketemukungan Oenutnanan Soe (istilah ketemukungan ini ada dalam amar-amar putusan MA).

Kehadiran saya ini adalah untuk memberikan legasi historis atas tanah warisan leluhur mereka yang telah dirampas secara sistematis melalui praktik mafia hukum yang berlangsung sudah lebih dari tiga dekade lamanya melalui proses hukum perdata yang berbelit-belit, penuh manipulasi, terindikasi adanya praktik mafia tanah dan gugat menggugat antara para pihak yang saling mengklaim dengan bukti-bukti yang tumpang tindih.

Sejarah penguasaan tanah keluarga Meo ini tentu saja tidak terlepas dari peradaban Amanuban yang terdefinisi secara terukur melalui unsur-unsur objektif berdasarkan kebiasaan [hukum adat] maupun institusi [kelembagaan/ kerajaan] yang telah teridentifikasi secara subjektif. Disana hadir juga tokoh-tokoh adat lainnya yang melegitimasi pengakuan yang sama secara historis di lokasi sengketa yang telah berlangsung hampir lebih dari 40 tahun perkara perdata ini berjalan dengan pengakuan hukum lembaga peradilan yang berbeda-beda.

Setelah mempelajari dokumen-dokumen perkara yang mempersengketakan tanah warisan keluarga Tauho dapat diketahui bahwa praktik mafia, manipulasi bukti, manipulasi keputusan hingga ketidak tegasan lembaga peradilan Mahkamah Agung memberikan gambaran menyeluruh tentang praktik-praktik kotor yang terselubung.

Keputusan majelis MA yang saling menganulir keputusan oleh lembaga Mahkamah yang sama, membuat tidak ada lagi kepastian hukum atas tanah ini. Suatu hal yang tidak mungkin pernah terjadi dalam proses hukum peradilan Adat Amanuban yang cepat dan terukur (suatu lembaga peradilan Adat kerajaan Amanuban yang telah dibatalkan oleh Soekarno dengan menghapusnya tahun 1959).

Beberapa tahun lalu, dalam sebuah sengketa perdata di tingkat Desa, seorang warga Desa Oelet Amanuban Timur datang kepada ayah saya Smarthenryk W. Nope, SH (alm) dengan meminta secara adat (dengan media oko mama) agar bersedia turun memutus masalah yang dihadapinya di kantor Desa sebab ia percaya bahwa keputusan dari Sonaf Amanuban sangat adil dan dapat diterima semua pihak.

Ayah saya tidak serta merta menolak, namun berkeberatan sebab hak memutus perkara dari Sonaf (Peradilan Adat) sudah di cabut pemerintah Republik sejak tahun 1959, sedangkan tidak ada satupun aturan yang mewajibkan para pihak untuk taat pada putusan semacam ini terutama di hadapan pejabat Desa.

Akhirnya ayah saya hanya menulis usulan pada secarik kertas terdiri dari dua paragraf kalimat dan menyerahkan dengan pesan Berikan ini kepada Kepala Desa untuk dibacakan kepada semua pihak, baik kamu maupun lawanmu. Apabila usulan saya diterima maka kamu patut bersyukur, tapi apabila usulan saya tidak diterima maka kamu harus mengupayakannya lagi.

Uniknya satu minggu kemudian ia kembali dengan sukacita dan menyampaikan secara adat (dengan oko mama) bahwa usulan dari Sonaf diterima dengan baik oleh semua pihak dan diputus secara adil. Ia tidak dirugikan. Saya terkesima oleh peristiwa ini dan sangat membekas di hati saya. Begitu juga dengan kasus pencurian sapi di Desa Balu seperti yang sudah saya jelaskan diatas.

Secara keseluruhan, hal-hal ini menggambarkan bahwa refleksi peradaban terutama kebiasaan [hukum adat] dan institusi [kelembagaan] Amanuban, masih teridentifikasi secara nyata dalam masyarakat Adat Amanuban hingga kini sebagai jalan alternatif oleh sebuah identitas bangsa yang terpisah dari sistem hukum Negara Bangsa yang semakin merosot dan korup seperti sekarang ini.

Relasi Hukum Adat

Mencermati dokumen perkara di Oenutnanan Kelurahan Cendana Kecamatan Kota SoE, terutama dari Keputusan Mahkamah Agung nomor 13/Pdt.G/2017/PN SoE, ada beberapa relasi Hukum Adat yang bisa dilihat dari sudut pandang hukum positif yang tentu saja lolos dari pengamatan. Secara nyata bahwa pihak Penggungat itu sendiri (Wilhelmus Pingakh-alias WP dkk) yang sekarang menjadi pihak yang menguasai lahan sengeketa, di dalam gugatan mereka halaman 8 menyebutkan bahwa tanah sengketa yang merupakan milik dari Taela Tauho dahulu terletak di ketemukungan Oenutnanan, Oeanadstnya.

Telah jelas bahwa kata Ketemukungan ini merupakan suatu relasi yang tidak dapat dipisahkan dari hukum adat Amanuban sebagai bagian dari sumber-sumber identitas yang memenuhi unsur kebiasaan [atau hukum adat] serta kelembagaan [kerajaan]. Kata ketemukungan ini seyogyanya memiliki akar yang kuat secara historis dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah penguasaan tanah di Oenutnanan-Oe Ana (demikian disebut oleh para pihak) dan Penggugat sendiri telah mengakuinya di dalam gugatannya itu.

Bahwa kemudian diakui sendiri oleh Pengugat bahwa tanah sengketa merupakan tanah warisan Taela Tauho. Kemudian yang mengejutkan bagi saya, bahwa di dalam hukum adat kebiasaan bangsa Atoni Amanuban yang menganut hukum Patrialkal (warisan di kuasai oleh anak laki-laki) justru, kini tanah warisan Taela Tauho ini [obyek sengketa] malah telah dikuasai oleh pihak yang tidak memiliki relasi historis, seorang pendatang dari pulau Rote. Berbeda dengan adat matrialkal di Belu misalnya, hak waris barang bergerak dan tidak bergerak di wariskan kepada perempuan.

Lucunya, keluasan penguasaan tanah milik Taela Tauho melalui putusan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak memiliki relasi hukum Adat dengan pemilik terdahulu kecuali oleh selembar surat yang telah terbukti keasliannya meragukan. Apakah hal ini sangat berkaitan erat dengan praktik manipulatif, markus (makelar kasus) dan ketiadaan rujukan hukum Adat yang jelas bagi majelis hakim di tingkat Mahkamah Agung? Hanya Tuhan saja yang tahu.

Bahwa kemudian juga dalam jawab menjawab sesuai salinan putusan, diketahui bahwa pernah terjadi gugat menggugat di tahun 1979 dengan nomor perkara : 35/PN.SoE/Pdt/Gtn/1979 yang kemudian terindikasi terjadi penerbitan Annmaning palsu atau B.A Penetapan eksekusi palsu atau B.A oleh Pergugat II Yesaya Danuata (YD) yang saat itu merupakan Panitera Pengganti (dia kemudian mendapat bagian tanah). Penerbitan dokumen ini hanya diberikan kepada WP (Penggugat I) tanpa melibatkan pihak yang bersengketa lainnya (anak-anak Taela Tauho), benar tidaknya indikasi pemalsuan ini perlu ditelusuri lebih jauh lagi sebab terbitnya dokumen telah mengakibatkan pelencengan yang memiliki implikasi hukum.

Selanjutnya dalam putusan PK Mahkamah Agung terkait hal ini di tahun 2010, Majelis merujuk pada surat perdamaian dan penyerahan tanah dari Thomas Tauho kepada WP tanggal 6 oktober 1998 untuk menguasai seluruh tanah sengketa. Hal ini memang sudah melenceng jauh dari adat kebiasaan orang Amanuban. Merupakan suatu keharusan dalam Hukum Adat Amanuban yang bersifat Patrialkal agar seorang pria Amanuban akan mewariskan hartanya (bergerak dan tidak bergerak) hanya kepada anak laki-lakinya.

Apabila ia tidak memiliki keturunan, maka harta akan dikuasai oleh anak laki-laki dari dari saudara laki-lakinya (umumnya anak sulung dari kakak atau adik laki-laki) yang bertujuan agar marga itu tidak terputus dari komunitas Amanuban. Dalam kasus ini misalnya, agar marga Tauho tidak boleh terhapus di lingkungan Oenutnanan sebab ada ikatan kekayaan yang telah mengikat keturunan ini secara batiniah dan historis. Begitulah cara pandang hak pewarisan di dalam Hukum Adat Amanuban.

Dengan cara demikian, suatu marga seseorang tidak pernah terhapus sekalipun kemudian ia sama sekali tidak memiliki anak kandung, namun kemudian anak laki-laki dari sauadara laki-lakinya yang akan melestarikan namanya di dalam komunitas ketemukungan tersebut. Namun, rupanya keponakan Thomas Tauho yang merasa tidak pernah tahu menahu tentang surat ini melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Sesuai putusan pengadilan, memang hasil pemeriksaan dari tim Labfor bahwa tanda tangan dalam surat yang dijadikan novum itu tidak identik dengan tanda tangan asli, namun karena tenggat waktu pelaporan dengan sejak diketahuinya pidana ini yaitu lebih dari 12 tahun sehingga dianggap daluarsa, telah melewati tenggat waktu yang ditentukan undang-undang.

Sangat disayangkan bahwa Majelis Hakim tidak mempertimbangakan bahwa tindakan pemalsuan surat ini juga merupakan alat kejahatan yang dapat digunakan secara terus menerus dan merugikan banyak pihak. Sangat disayangkan.

Sesungguhnya hak atas tanah dalam komunitas Amanuban merupakan hal yang sakral yang mengikat suatu klan atau keluarga secara kuat. Itulah sebabnya dalam perkara-perkara tanah orang Timor sering melalukan sumpah-sumpah yang dianggap sakral. Tanah kelompok keluarga selalu bukan semata-mata milik pribadi perseorangan apabila dilihat dari marga-marga yang berkepentingan.

Itulah sebabnya Ketemukungan dibentuk sebagai payung sosial dalam lembaga kerajaan untuk melindungi kepentingan komunal yang bersifat Geneologis.

Bahwa hal ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia Hukum Formil sebagai Hak Purba. Hak Purba inilah yang kemudian disebut Hak Pertuanan (Supomo) atau kemudian di dalam UUPA disebut Hak Ulayat. Dalam buku Hukum Adat Sketa Asas (1981, penerbit Liberty Yogyakarta), menjelaskan secara rinci tentang Hak Purba dimaksud yang ternyata ini masih banyak terjadi diluar pulau Jawa dengan ciri-ciri pokok yang terlihat dengan jelas ialah : Hanya persekutuan Hukum (adat) itu sendiri beserta warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaanya;

Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan tersebut, tanpa izin itu dianggap melakukan pelanggaran; Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan restriksi :hanya untuk keperluan somah/brayat/ keluarganya sendiri; jika dimanafaatkan untuk kepentingan orang lain, maka harus mendapat izin lebih dahulu;

Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan delik; Hak Purba tidak bisa dilepaskan, dipindah tangankan, diasingkan untuk selamanya; Hak Purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi hak seseorang.

Definisi-definisi yang termaktub tersebut diatas, walaupun tidak secara spesifik merujuk pada masyarakat Adat Atoni Amanuban, namun bangsa Atoni Amanuban memiliki kandungan yang sama dengan jabaran definisi tersebut diatas.

 

Penulis: Pina Ope Nope

Sekretaris Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban

Artikel dan isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Usai Dilantik, Chris-Serena Gelar Syukuran, Tegaskan soal Efisiensi Anggaran di Pemkot Kupang

21 Februari 2025 - 14:12 WIB

Kapolsek Pulogadung Minta Maaf Anggotanya Tolak Laporan Korban Perampokan

12 Desember 2021 - 21:07 WIB

Ilustrasi perampokan pengendara mobil. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Anies Punya Program Baru di YouTube, #daripendopo, Apa Itu?

12 Desember 2021 - 21:03 WIB

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memberikan sambutan pada Pembukaan Jakarta Film Week 2021, Kamis (18/11) malam. Foto: Dok: Pemprov DKI Jakarta

Kang Emil Ungkap Penanganan Kasus Herry Wirawan Sejak Mei: Semoga Dihukum Mati!

12 Desember 2021 - 20:45 WIB

Polisi Tangkap 2 Pelaku yang Coba Bobol Mesin ATM di Nanga Mahap, Kalbar

12 Desember 2021 - 20:41 WIB

Trending di Opini